Menikmati tiap sisi Jalan Malioboro - Yogyakarta, seperti melihat suasana baru. Dari keramaian Jakarta dengan orang-orangnya yang hanya memikirkan dirinya sendiri, kami merasa terlempar ke satu sudut kota dengan penduduk ramahnya.
Kami sengaja menginap disalah satu hotel murah di pinggiran jalan Malioboro (toh kami hanya menginap satu malam). Hotelnya lumayan bersih dengan detil tradisional Jawa Tengah yang kental. Turis asing dan backpaker ternyata banyak menginap disini. Penuh tapi tertib dan teratur.
Pagi hari, dimulai dengan berjalan menyusuri gang kecil dari depan hotel, menuju ke jalan utama.Terlihat becak-becak telah menempati "titik" nya. Dengan ramah tapi agak sedikit memaksa sang penarik becak menawarkan jalan-jalan keliling Malioboro sampai ke Kraton. Pagi hari mereka masih "banting harga" Rp. 5.000,- - Rp. 10.000,- per becak sudah pasti puas berkeliling.
Ngomong-ngomong soal becak, pembicaraan kami dengan si tukang becak pun mengalir. Ada banyak becak disini, dan beberapa paguyuban atau perkumpulannya. Satu perkumpulan bisa beranggotakan puluhan tukang becak. Sekarang pekerjaan ini (menarik becak) makin menjamur di daerah Malioboro. Dulu mungkin si Bapak, bisa mendapat Rp. 40.000,- sehari namun sekarang penghasilannya berkurang. Sudah syukur dapat Rp. 20.000,- sehari.
Jalanan masih terlihat lengang, berderetan toko disepanjang Malioboro masih tertutup. Gerobak jualan pun masih terbungkus rapi. Yang ada hanya penarik becak dan sesekali terlihat beberapa ibu menjajakan makanan untuk sarapan.
Aktivitas pagi itu belum terlihat ramai, kami berputar-putar ke arah pasar dan sekitarnya. Sekumpulan tukang bunga menjajakan bunganya. Pemandangan manis. Saya sendiri tak tahu bunga apa yang di jual dan untuk apa, tapi terlihat segar dalam keranjang bambu. Ingin rasanya bertanya, tapi si abang tukang becak tetap mengayuh cepat becaknya ke arah jalan menuju hotel.
Di pinggir gang sempit menuju hotel, terlihat seorang ibu menjajakan beberapa masakan untuk sarapan pagi. Gudeg dan makanan khas Jawa Tengah dijualnya. Harganya relatif murah. Pembelinya pun warga sekitar gang. Terlihat beberapa wisatawan ikut membeli dagangannya.
Malam pun tiba, ehmmm rasanya kurang jika tidak mencoba makan lesehan di sepanjang Malioboro, apalagi kami akan bertolak ke Solo besok pagi. Tetap dengan tukang becak yang sama kami menyisir jalanan yang makin malam malah semakin ramai. Yang lucu, harga becak pun bertambah mahal. Sama seperti siang hari, makin siang malah semakin mahal. Bisa disimpulkan harga becak siang hari berlipat jadi 4 kali, dari Rp. 5.000,- menjadi Rp. 20.000,- *gooshh* Untuk malam hari harga itu sedikit menurun, Rp. 10.000,- satu becak. Mungkin karena kami hanya turis mereka bisa enaknya menawarkan harga.
Kembali ke lesehan, ehmmm rupanya memang tempat lesehan jadi wisata sendiri bagi turis. Penuh sesak sampai kami harus mengantri untuk mencari tempat duduk yang pas. Sederetan jalan Malioboro dipenuhi tenda lesehan dengan berbagai menu yang ditawarkan.
Salah satu teman saya yang asli Yogya pernah bilang, "makan di lesehan sebenernya ga begitu enak apalagi harganya juga suka di patok dengan harga turis, tapi lo kalo ga makan di lesehan Malioboro, berarti lo belum ke Yogya"
Well berbekal kata-kata itu, akhirnya kami nekat mencoba menu lesehan, aww memang terlihat tak begitu enak tapi rasanya kurang puas kalau tidak mencoba.Walau bersempit-sempit tapi tetap ingin tau sensasi makan di lesehan.
Kami pun memesan nasi gudeg yogya yang terkenal itu, ditambah beberapa ekor burung dara yang katanya renyah. Ga lama, makanan kami pun datang. Gudeg yogya dengan nasinya menurut saya tidak istimewa, walau dingin tapi masih ok lah untuk makan malam. Burung daranya... oo goshh keras ! Saya masih berusaha menggigit bagian-bagian daging yang melekat kuat ke tulangnya. Tapi ternyata tidak bisa. Dagingnya keras.
Hiruk pikuk lesehan terus berlanjut, pengamen, tukang gambar dan beberapa orang yang menawarkan sewa mobil bolak balik kemeja kami. Ehmm ternyata ini toh sensasi makan lesehan. Ramai ....
Yaa...mungkin jika ada waktu, kami akan kembali ke Yogya, menikmati sudut-sudut lainnya. Menikmati keramahan penduduk juga menikmati naik becak. Unik...dan tak terlupa. !
7 comments:
Elsye, makasih udah share ttg Yogya, terutama info hotelnya...pengen nich ke Yogya kapan2...ari Elsye ke Yogya naik apa?
aah.. nostalgia lagi :) jadi pingin mudik lagi. Rp.20,000 kliatan nya mahal ya Sye, begitu nyampe di jkt mah ga dapet apa2.. Kalo kata suami, ga tega aah .. liat bapak2 nya ngos ngosan heheheh
@ Roosy : sama-sama Roos :D iya kemaren kesana cuma semalem doang, hotelnya lumayan murmer dan bersih :D, gw kemaren naek mobil sendiri Roos, secara abis dari yogya mesti ke solo balik lagi ke pekalongan..:)
@ fitri : wkwkwkwk nostalgia maakkk :P, ember sih mak jadina kasian juga kalo liat mereka ngegoes becak...hihihihi...tadinya dia nawarin 1 becak 60 rebu..:(..ditawar jadi 20 rebu..ok lah :D..
hiks, kangen pengen naik becak els, tp kadang gak tega ngeliat bapaknya nggayuh becak sambil keringetan sejagung2, fiuuuh...
aduuuh jadi pengen maen ke Jogya lagi deh klo mudik :). Jadi inget wkt mudik 2 thn y.l kangen banget makan Gudeg, akhirnya mampir ke Gudeg jl Banda di Bdg. Eh...Susaaah banget ngabisinnya koq jadi terasa kayak makan kolak giyung banget, mungkin karena sudah terbiasa bikin sendiri kali ya ^^, gulanya dah disesuaikan dg selera :)
Tapi ngga kena palak khan waktu makan lesehan(harganya gila2an) ? Eva tuh naik becak 5 rb ke tempatnya bakpia pathuk hehehe...
kalo di malioboro...lesehan yang enak itu namanya "terang bulan"
Post a Comment